25 October 2009

Matikan TV anda, dan mulailah membaca !

Suatu permasalah baru diprediksi secara nyata  akan muncul seiring munculnya kemajuan zaman dan modernisasi dalam dunia  teknologi informasi, yaitu masalah akibat lahirnya  sebuah benda ajaib semacam kotak bergambar alias televisi. Masalah yang dikhawatirkan ini akan muncul pada generasi yang akan datang , yaitu melemahnya daya kreatifitas otak  manusia dalam membangun imaginasi terhadap sesuatu keadaan yang ada  di sekitarnya.

Mengapa kekhawatiran itu muncul, padahal begitu besar perjuangan para ilmuwan untuk melahirkan penemuan seperti televisi ini ?

Secara tidak kita sadari, cerita dalam televisi telah membuat daya imaginasi kita  sebagai manusia  makin melemah dan tidak terasah. Kemampuan kita untuk berkhayal dan mengembangkan opini akan berkurang sedikit demi sedikit sehingga sampai pada tingkat tertentu kita tidak mampu berimaginasi secara penuh. Dan itu disebabkan oleh mewabahnya cerita bergambar melalui televisi.

Televisi walaupun terlihat nyata diyakini bukanlah barang yang sehat untuk memaparkan suatu ide cerita dari pengarang kepada penggemarnya. Cerita melalui televisi membuat kita malas berpikir dan tidak terasah secara imaginatif. Cerita televisi dapat diibaratkan seperti roda tambahan pada sepeda roda tiga untuk anak-anak, yang membuat si anak tidak terjatuh tetapi ia tidak juga pandai menjaga keseimbangan untuk selamanya.

Keunggulan cerita melalui buku adalah, ia selalu mampu memancing daya imaginasi kita berkembang, karena selalu mengundang pikiran kita untuk berusaha membuat setting cerita yang semirip mungkin dengan yang dibangun oleh pengarang. Hal seperti  ini tentu tidak akan kita temui di dalam cerita-cerita televisi, karena dalam cerita televisi setting  sudah digambarkan dalam suatu real setting yang sama dengan kondisi begitu nyata.

Jadi matikan televisi anda sekarang, dan mulailah membaca atau kita akan kehilangan daya imaginasi kita selamanya.


26 August 2009

Azab Modernisasi ?

Pemikiran azab modernisasi ini muncul beberapa hari lalu, ketika saya berkunjung ke rumah kakak perempuan saya. Ketika tiba di sana waktu menunjukan sekitar pukul 7.00 pagi di hari sabtu yang cerah.
 
Seperti kebiasaan bila saya datang, keponakan perempuan saya yang berusia 8 tahun akan menyambut saya dan menyalami saya.Kebiasaan rutin yang ia lakukan untuk sekedar menghormati orangtua atau yang dia tuakan.
Tetapi hari itu saya tidak mendapat sambutan itu, rumah sepertinya sepi-sepi saja. Wah, mungkin anak itu tidak sehat dan ada di kamarnya sehingga tidak menyambut, itu pikiran saya pertama kali. Saya segera hampiri kamarnya dan saya lihat anak itu ada di kamar, duduk manis di depan komputernya.

Ketika saya hampiri ia tetap asyik dengan komputernya, sepertinya tengah chatitng melalui internet dengan layar facebook di komputernya, dan ia tidak perduli akan kedatangan saya.

Mungkin zaman memang berbeda, tapi hal ini membuat saya resah. Anak usia 8 tahun sekarang sudah mahir bermain internet, chatting dan browsing dan itu bukan hal yang aneh lagi. Padahal saya pertama kali mengenal internet ketika saya hampir lulus SMA.

Saya sedikit mengingat penelitian prof Dadang Hawari, bahwa dibalik manfaat modernisasi ada harga yang harus kita bayar. Ini yang biasanya kita sebut azab modernisasi, yaitu melunturnya nilai-nilai penghormatan terhadap orangtua, tumbuhnya sifat permisive di kalangan generasi muda, sifat asosial dan tentu saja tingkat konsumerisme yang semakin meningkat.

Saya mungkin termasuk generasi yang gagap melalui kultur Indonesia modern, bahkan saya pernah merasakan belajar tanpa lampu listrik karena tempat tinggal saya belum dialiri listrik, walaupun ada di ibukota negara. Saluran telpon baru saya nikmati ketika saya ada di sekolah dasar.

Tetapi saat ini, keponakan perempuan saya , seperti kebanyakan anak lain di negeri ini sudah bisa memiliki koneksi internet sendiri, chatting, membuka facebook dan memiliki handphone sendiri pada usia sangat belia.

Semoga saja manfaatnya lebih besar dari azab yang kita terima.

13 August 2009

Kisah Rumput

Cerita ini sebenarnya sederhana saja, mengenai seorang ibu yang begitu mencintai tanaman di halaman rumahnya. Beliau begitu rajin dan teliti merawat halaman rumahnya, ditanaminya dengan berbagai tanaman bunga aneka rupa. Disiram setiap hari dan diberi pupuk hingga subur, sehingga setiap orang akan senang melihat taman itu.

Setiap pagi, ia selalu memandang halamannya. Hingga pada satu hari ia sangat kaget karena di pojok tamannya tumbuh rumput ilalang diantara bunga-bunganya yang berwarna-warni.
Tumbuhan itu cuma berwarna hijau dan tidak indah sama sekali. Dengan telaten si ibu mencabuti rumput itu, agar rumput itu tidak tumbuh di halamannya. Setelah bersih ia sangat puas. Tetapi beberapa hari kemudian dilihatnya rumput itu tumbuh lagi. Hatinya mulai kecewa, hingga ia cabuti lagi sampai bersih, dan ia yakin rumput itu tidak akan tumbuh lagi.

Akan tetapi beberapa hari kemudian si ibu masih melihat rumput itu tumbuh lagi. Dengan terburu-buru ia pergi ke pasar untuk membeli pembasmi gulma, dan menyemprot rumput itu sehingga mongering dan mati. Puas sudah hati ibu melihat rumput yang mengganggunya itu mati.

Akan tetapi, beberapa hari kemudian ia masih melihat rumput itu tumbuh lagi, bahkan sekarang mulai lebih besar.

Si ibu mulai gusar dan terus berpikir untuk memusnahkan rumput itu. Segera ia datang ke dinas pertamanan untuk memperoleh cara membasmi rumput itu. Setelah mendapat penjelasan dan tata cara membasmi rumput serta obat pembasmi rumput ia segera membasmi rumput itu. Rumput itu mati lebih cepat dan mengering. Ibu itu terlepas dari kegusaran.

Tapi hari kemudian ia melihat rumput itu masih tumbuh lagi, ia menjadi marah, kecewa dan sangat gusar karena di tamannya tumbuh rumput.

Akhirnya ia ingin mengadu kepada pemilik seorang pemuka agama. Pemuka agama itu dengan bijak memberi penyelesaian, agar si ibu menganggap rumput itu sebagai hiasan taman saja, sehingga si ibu tidak menjadi marah lagi.

Dengan perlahan si ibu mencoba memandang rumput itu secara seksama…dilihat daunnya yang memanjang diantara bunga mawarnya yang merah, kontras dan pelan-pelan sangat indah terlihat.

Sejak saat itu si ibu membiarkan rumput itu tumbuh di taman itu, dan ia merawat dengan telaten sehingga menjadi hiasan yang menarik.

Kadang kegusaran hati kita adalah karena hati kita terkondisikan oleh stigma yang diberikan oleh orang lain, ketika kita mengganggap rumput adalah tumbuhan pengganggu maka kita selalu berusaha memusnahkannya, padahal jika kita mengganggapnya sebagai hiasan, kita akan merawatnya.

Begitu pula dengan kegusaran kita pada suatu hal. Kita selalu merasa tidak puas atas sesuatu karena pikiran dan hati kita selalu ditentukan oleh nilai yang bukan milik kita sendiri sehingga kita merasa gusar dan kecewa. Padahal jika kita mampu berdamai dengan keadaan, kita akan memperoleh kedamaian. Seperti yang dirasakan ibu tadi terhadap tumbuhan rumputnya.

07 April 2009

Kita semua adalah pemenang !

Seorang teman bertanya kepada saya :"apa kamu pernah merasa gagal ?"...opsss....saya malah berpikir keras akan pertanyaan mudah itu. Pikiran saya mulai menerawang menembus batas-batas masa lalu saya. Satu persatu slide kehidupan saya bermunculan, ada rencana, ada kesedihan, ada keberhasilan, ada kesedihan....kemudian bermuara pada pertanyaan pokok, apa hidup kita adalah runtutan kegagalan jika tidak sesuai harapan atau itu cuma sebuah pencapaian yang belum sempurna ?

Sebagian orang mungkin akan menjawab pilihan pertama, tapi saya lebih memilih yang kedua, hidup bukan kegagalan walaupun tidak mencapai kesempurnaan yang kita inginkan. Setiap hasil yang kita capai, sekecil apapun bentuknya, itu adalah sebuah keberhasilan. Nothing to lost...everybody is winner !

Sebelum saya bekerja di tempat sekarang, saya memulai sebagai seorang konsultan hukum pada sebuah kantor pengacara yang tidak begitu besar, sesekali datang klien yang meminta bantuan hukum. Sesekali dalam satu bulan !...sebuah penghasilan yang sangat tidak layak dalam dunia profesi itu. Apakah itu sebuah kegagalan ?, jika sudut pandang kita bermula dari atas dan besaran yang selalu absolut dari angka-angka, mungkin jawabnya iya. Tapi jika kita memandang dari sudut yang lain lagi, jawabnya bisa jadi tidak, walau sedikit saja... ada hasil dari pekerjaan kita...itu adalah juga sebuah keberhasilan. Di mana nilai keberhasilannya ? bukan kah ada angka 1 setelah 0 , itu nilai sebuah keberhasilan.

Jadi tidak ada kata kalah dalam kamus hidup saya, cuma keberhasilan yang mungkin belum sempurna seperti keinginan awal. Saya teramat percaya bahwa masing-masing diri kita adalah pemenang, dalam kadar yang tidak sama tentunya, seorang akan mendapat 10, seorang juga bisa akan mendapat 5 atau mungkin 2 ... tetapi ia tetap mendapat sesuatu.

Kekalahan pada dasarnya adalah sebuah stigma pecundang yang dibuat hati kita sendiri untuk mengkerdilkan kemampuan diri kita. Kata kalah adalah jalur penghambat untuk kita dalam meraih kemajuan, penghalang kita untuk terus berjuang meraih pencapaian.

Sesungguhnya pada setiap sesuatu yang kita nilai kalah, ada nilai kemenangan yang tidak atau belum kita sadari. Bukankah selalu kita dengar nasihat bijak untuk selalu dapat mengambil hikmah dari setiap kejadian yang merugikan kita. Itu adalah kebenaran, dari setiap kekalahan ada nilai kemenangan yang mungkin tidak kita sadari.

Seorang teman lama pernah berkata kepada saya, : kalo kamu gak ingin tersesat janganlah memiliki tujuan ...' sebuah perkataan yang naif buat kita jalankan, tapi ketika saya renungkan dalam-dalam, ternyata intinya adalah bahwa kita adalah pemenang dari setiap tindakan kita, jadi sampai kemanapun perjalanan kita sampai, itulah tujuan kita.

Dalam konseptika agama itulah yang disebut bersyukur ... berterima kasih pada yang maha kuasa seberapapun yang kita raih hari ini.

Sekali lagi, karena kita semua adalah pemenang !

19 March 2009

buatlah ruang baca di rumah anda !

Athenaeum berasal dari bahasa yunani yang artinya ruang baca, atau secara sederhana kita biasa menyebutnya dengan perpustakaan. Sebuah ruang dimana tersedia berbagai informasi yang pada awalnya berupa tulisan belaka sampai saat ini juga meliputi berbagai koleksi suara, digital, ebook dan apapun segala kemajuan informasi.

Saya sangat kagum atas perhatian bangsa yunani tempo dulu, yang telah memiliki ruang khusus untuk membaca dan menyimpan koleksi bukunya. Sebuah apresiasi terhadap ilmu pengetahuan yang sangat besar. Kemampuan mereka mendokumentasikan berbagai informasi menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang besar, pintar dan sejahtera.

Lalu apakah bangsa kita tidak mampu mencontoh apresiasi tersebut ? sangat bisa tentunya. Pada saat ini walau sedikit mulai menjamur rumah baca di berbagai daerah, pendirian perpustakaan di sekolah-sekolah dengan penampilan dan sistem yang semakin modern.

Mengapa kita tidak segera membuat sebuah ruang baca (athenaeum) di rumah kita, dan kita sambut dunia dengan penuh rasa bangga.

02 February 2009

How to make a privat library ?

Sebuah pertanyaan sederhana yang nilainya penting tidak penting ditanyakan seseorang kepada saya. Beliau adalah orangtua murid di mana putranya belajar di sekolah dimana saya bekerja. Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya membuat sebuah perpustakaan pribadi yang baik ? Beliau sering membeli buku bacaan, tetapi selalu berantakan entah dimana dan sulit mencarinya kembali.

Saya agak terkesiap sejenak, karena tidak pernah ada ukuran perpustakaan pribadi yang 'baik' karena nilai baik itu kembali kepada pemiliknya sendiri. Ada beberapa saran yang mungkin bisa saya berikan untuk beliau, bagaimana membuat sebuah perpustakaan 'yang mendekati baik'.

Pertama tentu harus kita harus tahu bahwa perpustakaan yang baik adalah perpustakaan yang mampu memberi informasi tentang isi buku/media kepada penggunanya. Untuk itu saya memberi saran agar beliau mulai menyusun suatu penataan koleksi buku secara benar dan tentu saja secara sederhana dan mudah.

Untuk tahap awal beliau saya sarankan mengumpulkan seluruh koleksi buku yang ada. Kadang banyak buku berserakan di bawah meja tamu, di dalam kamar, di kolong tempat tidur, di atas lemari, bahkan ada di dalam garasi ! Kumpulkan pada satu lokasi dan pilah berdasarkan golongan-golongannya. Misal kelompok komik (punya anak2), resep masak memasak (punya si ibu), novel (punya si kakak), atau artikel punya si ayah.
Setelah itu berilah masing2 golongan dengan label warna yang berbeda misalnya, komik dengan warna merah, resep masak dengan warna biru, novel dengan hijau, dst. Pasang label warna dengan ukuran sekitar 1 cm tersebut pada punggung buku bagian atas.
Setelah itu berilah nomor identitas yang berbeda untuk masing-masing buku dengan stiker/label. Misalnya kita memberi nomor buku dengan code awal mis : K.001 = Komik 001...dst. N.001 = Novel 001...dst.
Taruhlah buku-buku berdasar label warna tersebut didalam rak dengan posisi punggung keluar dan tegak berdiri (bukan ditumpuk), kemudian dari tiap warna kita menaruhnya secara berurutan dari nomor kecil ke nomor besar. Perpustakaan pribadi sederhana sudah siap digunakan.

Seluruh nomor identitas buku yang kita miliki sebaiknya di buat dalam sebuah buku besar yang memuat no, judul, pengarang, penerbit, ISBN, peminjam, tanggal pinjam. Ini penting agar kita tahu identitas peminjam dan tanggal pinjam, sehingga kita tahu buku yang kita beli ada di mana.
Andai memungkinkan data-data tersebut dapat dimuat dalam file komputer (program Excel) sehingga lebih muda memprosesnya.
Jika ingin lebih kelihatan sedikit profesional dan memiliki komputer kita dapat memakai software sederhana untuk dokumen library. Misalnya kita bisa temukan program pengolahan buku pada software filemaker. Atau mencari program pengolahan perpustakaan di internet, walaupun agak sulit dalam penerapannya.
Jadi sangatlah mudah membuat sebuah perpustakaan pribadi. Kenapa tidak memulainya sekarang ?