26 August 2009

Azab Modernisasi ?

Pemikiran azab modernisasi ini muncul beberapa hari lalu, ketika saya berkunjung ke rumah kakak perempuan saya. Ketika tiba di sana waktu menunjukan sekitar pukul 7.00 pagi di hari sabtu yang cerah.
 
Seperti kebiasaan bila saya datang, keponakan perempuan saya yang berusia 8 tahun akan menyambut saya dan menyalami saya.Kebiasaan rutin yang ia lakukan untuk sekedar menghormati orangtua atau yang dia tuakan.
Tetapi hari itu saya tidak mendapat sambutan itu, rumah sepertinya sepi-sepi saja. Wah, mungkin anak itu tidak sehat dan ada di kamarnya sehingga tidak menyambut, itu pikiran saya pertama kali. Saya segera hampiri kamarnya dan saya lihat anak itu ada di kamar, duduk manis di depan komputernya.

Ketika saya hampiri ia tetap asyik dengan komputernya, sepertinya tengah chatitng melalui internet dengan layar facebook di komputernya, dan ia tidak perduli akan kedatangan saya.

Mungkin zaman memang berbeda, tapi hal ini membuat saya resah. Anak usia 8 tahun sekarang sudah mahir bermain internet, chatting dan browsing dan itu bukan hal yang aneh lagi. Padahal saya pertama kali mengenal internet ketika saya hampir lulus SMA.

Saya sedikit mengingat penelitian prof Dadang Hawari, bahwa dibalik manfaat modernisasi ada harga yang harus kita bayar. Ini yang biasanya kita sebut azab modernisasi, yaitu melunturnya nilai-nilai penghormatan terhadap orangtua, tumbuhnya sifat permisive di kalangan generasi muda, sifat asosial dan tentu saja tingkat konsumerisme yang semakin meningkat.

Saya mungkin termasuk generasi yang gagap melalui kultur Indonesia modern, bahkan saya pernah merasakan belajar tanpa lampu listrik karena tempat tinggal saya belum dialiri listrik, walaupun ada di ibukota negara. Saluran telpon baru saya nikmati ketika saya ada di sekolah dasar.

Tetapi saat ini, keponakan perempuan saya , seperti kebanyakan anak lain di negeri ini sudah bisa memiliki koneksi internet sendiri, chatting, membuka facebook dan memiliki handphone sendiri pada usia sangat belia.

Semoga saja manfaatnya lebih besar dari azab yang kita terima.

13 August 2009

Kisah Rumput

Cerita ini sebenarnya sederhana saja, mengenai seorang ibu yang begitu mencintai tanaman di halaman rumahnya. Beliau begitu rajin dan teliti merawat halaman rumahnya, ditanaminya dengan berbagai tanaman bunga aneka rupa. Disiram setiap hari dan diberi pupuk hingga subur, sehingga setiap orang akan senang melihat taman itu.

Setiap pagi, ia selalu memandang halamannya. Hingga pada satu hari ia sangat kaget karena di pojok tamannya tumbuh rumput ilalang diantara bunga-bunganya yang berwarna-warni.
Tumbuhan itu cuma berwarna hijau dan tidak indah sama sekali. Dengan telaten si ibu mencabuti rumput itu, agar rumput itu tidak tumbuh di halamannya. Setelah bersih ia sangat puas. Tetapi beberapa hari kemudian dilihatnya rumput itu tumbuh lagi. Hatinya mulai kecewa, hingga ia cabuti lagi sampai bersih, dan ia yakin rumput itu tidak akan tumbuh lagi.

Akan tetapi beberapa hari kemudian si ibu masih melihat rumput itu tumbuh lagi. Dengan terburu-buru ia pergi ke pasar untuk membeli pembasmi gulma, dan menyemprot rumput itu sehingga mongering dan mati. Puas sudah hati ibu melihat rumput yang mengganggunya itu mati.

Akan tetapi, beberapa hari kemudian ia masih melihat rumput itu tumbuh lagi, bahkan sekarang mulai lebih besar.

Si ibu mulai gusar dan terus berpikir untuk memusnahkan rumput itu. Segera ia datang ke dinas pertamanan untuk memperoleh cara membasmi rumput itu. Setelah mendapat penjelasan dan tata cara membasmi rumput serta obat pembasmi rumput ia segera membasmi rumput itu. Rumput itu mati lebih cepat dan mengering. Ibu itu terlepas dari kegusaran.

Tapi hari kemudian ia melihat rumput itu masih tumbuh lagi, ia menjadi marah, kecewa dan sangat gusar karena di tamannya tumbuh rumput.

Akhirnya ia ingin mengadu kepada pemilik seorang pemuka agama. Pemuka agama itu dengan bijak memberi penyelesaian, agar si ibu menganggap rumput itu sebagai hiasan taman saja, sehingga si ibu tidak menjadi marah lagi.

Dengan perlahan si ibu mencoba memandang rumput itu secara seksama…dilihat daunnya yang memanjang diantara bunga mawarnya yang merah, kontras dan pelan-pelan sangat indah terlihat.

Sejak saat itu si ibu membiarkan rumput itu tumbuh di taman itu, dan ia merawat dengan telaten sehingga menjadi hiasan yang menarik.

Kadang kegusaran hati kita adalah karena hati kita terkondisikan oleh stigma yang diberikan oleh orang lain, ketika kita mengganggap rumput adalah tumbuhan pengganggu maka kita selalu berusaha memusnahkannya, padahal jika kita mengganggapnya sebagai hiasan, kita akan merawatnya.

Begitu pula dengan kegusaran kita pada suatu hal. Kita selalu merasa tidak puas atas sesuatu karena pikiran dan hati kita selalu ditentukan oleh nilai yang bukan milik kita sendiri sehingga kita merasa gusar dan kecewa. Padahal jika kita mampu berdamai dengan keadaan, kita akan memperoleh kedamaian. Seperti yang dirasakan ibu tadi terhadap tumbuhan rumputnya.