Pagi ini saya membaca sebuah tulisan kecil pada
sebuah situs yang saya buka, kalimat singkat dari John
Dewey, seorang filsuf bermazhab pragmatisme kenamaan dari
Amerika Serikat.
If we teach today’s students as we
taught yesterday’s, we rob them of tomorrow.
Saya terjemahkan dengan bebas : Jika kita mengajari murid hari ini dengan cara kita mengajari murid
kemarin, artinya kita telah merampas masa depan mereka.
Setelah membaca kalimat singkat itu,
pikiran saya segera melayang jauh ke masa lalu,
masa-masa ketika saya menuntut ilmu.
Pendidikan formal saya dimulai
pada tingkat sekolah dasar di Jakarta. Ketika itu saya belajar di sekolah dasar
yang cukup diminati di lingkungan tempat tinggal kami. Sekolah saya itu terkenal
karena lulusannya sebagian besar diterima di sekolah menengah favorit di Jakarta.
Pada masa itu, mata pelajaran yang
dijarkan guru di sekolah begitu banyak dan sangat terpengaruh oleh suasana politik pihak penguasa Negara pada saat itu. Bahkan
saya ingat pelajaran yang berhubungan dengan ketatanegaraan saja sampai tiga
mata pelajaran. Anehnya, pada masa itu, entah mengapa tidak ada pelajaran
Bahasa Inggris sama sekali.
Guru saya pada masa itu datang dengan materi yang penuh dengan ilmu
kenegaraan, yang terus berulang dan baku karena telah terkonsep
secara matang oleh pemerintah. Saya ingat pada saat itu bahkan kami sangat
bangga bila berhasil menghafal deretan nama menteri yang berjumlah puluhan lengkap
dengan nama departemen yang dipimpinnya secara tepat.
Wah, rasanya hebat bisa menghafal
seperti itu.
Selepas sekolah dasar, saya
mulai memasuki sekolah menengah pertama.
Sekolah menengah itu juga merupakan sekolah favorit di lingkungan saya. Di sana
saya mulai mendapat pelajaran Bahasa Inggris dan Science.
Lagi-lagi guru datang ke dalam
kelas dengan setumpuk materi berupa catatan dan soal test yang telah ditulisnya
bertahun lalu. Bahan-bahan yang sama seperti yang beliau berikan kepada kakak
kelas saya setahun lalu, dua tahun lalu bahkan mungkin tiga tahun lalu..
Saya saat itu merasa jadi kertas fotocopy dari kakak kelas saya.
Ketika saya memasuki sekolah
menengah atas, pada awalnya saya datang ke kelas dengan perasaan bangga karena berhasil
masuk ke sekolah menengah yang cukup favorit di lingkungan saya. Tugas pelajaran
biologi saya yang pertama adalah : saya diharuskan menghafal klasifikasi mahluk
hidup sebanyak seratus species dalam satu minggu !
Wow, saya sampai terkaget-kaget
mendengarnya. Menghapal seratus nama latin dari berbagai spesies mahluk hidup
dalam satu minggu, bukan pekerjaan mudah bagi saya yang baru mendengar nama
latin padi adalah oriza sativa. Saya bersusah payah menghafalnya.
Setelah mendengar cerita kakak
kelas saya, ternyata cara menghafal ratusan spesies itu sudah diterapkan
berpuluh tahun di sekolah itu. Wah, surprises yang kedua buat saya. Dan sampai
hari ini bahkan saya tidak mengerti apa manfaat dari tradisi menghafal nama
latin dari seratus spesies itu.
Ketika duduk diperguruan tinggi,
saya mendapati tumpukan buku dan modul yang harus saya baca hamper tiap hari.
Serta tumpukan Quiz yang tercetak berulang-ulang kali. Saking seringnya
difotocopy, tulisan pada soal-soal itu
mulai pudar di sana-sini. sehingga sulit terbaca.
Salah satu sebab mudahnya saya
lulus dari perguruan tinggi adalah karena bahan ujian yang mereka ujikan adalah
bahan yang sama, yang pernah mereka
ujikan bertahun-tahun lalu. Jika kita rajin membaca soal bertahun-tahun sebelum
kita, kita akan menemukan soal ujian kelulusan itu di sana dan mengerjakannya dengan mudah.
Betapa mudahnya meraih gelar
sarjana.
Dan hari ini adalah saya, produk
dari sistem pendidikan seperti itu. Sistem pendidikan yang mengulang-ulang.
Entah hal ini disebabkan karena guru
yang malas berpikir untuk mencari inovasi mengajar yang baru atau memang karena
beliau-beliau sendiri adalah guru yang terbentuk dari sistem pendidikan berulang-ulang,
sehingga sulit berubah.
Saya dan mungkin sebagian besar teman-teman
seangkatan saya kini terjerembab dalam persaingan global. Sebagian dari kami
tidak bahkan hampir tidak mampu bersaing di negeri kami sendiri. Sebagian besar
kami bahkan tidak mampu membaca kemajuan zaman. Sebagian dari kami gagap
memahami masa depan dan modernisasi yang begitu cepat.
Mungkin kami generasi yang payah,
yang tidak belajar dari masa lalu, karena kami adalah cetakan dari masa lalu itu
sendiri..
Apakah kini kita akan
kembali melahirkan generasi yang gagap menghadapi masa depan ?
Saya berpandangan bahwa
keterbelakangan generasi muda kita adalah karena kita mengajari murid kita dengan
cara yang sama dengan kita saat kita memperoleh ilmu itu. Padahal kita dilahirkan pada masa yang sama sekali berbeda dengan
mereka.
Ilmu pengetahuan tidaklah statis,
ia selalu berkembang terus menerus. Begitu pula bagaimana cara kita mengajarkan
ilmu pengetahuan kepada anak-anak kita.
Anak-anak pada hakekatnya adalah titipan masa depan, mereka sama sekali bukan warisan dari masa
lalu kita. Tugas kita adalah mengajari mereka dengan sesuatu yang kelak ada pada
masa mereka, bukan dengan sesuatu yang ada pada masa kita.
Mengajari anak-anak hari ini
dengan cara kita kemarin, artinya kita sudah merampas masa depan mereka.
Proviciat Mr Dewey.